CAKRAWALA PENDIDIKAN KE DEPAN
oleh Putra Nusantara.
BHINEKA TUNGGAL IKA. Satu baris kalimat yang terpatri pada sehelai pita
yang dicengkram kuat dua cakar sang Garuda, yang di dadanya melekat
perisai Pancasila, sebagai lambang negara terci
nta
ini. Tampaknya, kebhinekaan itu terus menjadi persoalan di negeri ini,
baik itu politik, hukum, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, maupun
budaya. Tepatnya, belum sempat satu persoalan rampung diatasi, muncul
persoalan baru. Bahkan, banyak pula sebuah persoalan terus-menerus
menjadi persoalan, yang seakan tak dapat terselesaikan. Salah satunya
“pendidikan”.
Sebenarnya di negeri ini jumlah Lembaga Perguruan
Tinggi yang dikenal sebagai LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan), baik berbentuk Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) maupun
Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), cukup banyak. Keberadaan
lembaga tersebut tentunya dimaksudkan guna menjawab persoalan-persoalan
dalam dunia pendidikan di Indonesia ini. Dan, tidak terbantahkan banyak
pakar pendidikan kita lahir, atau berasal dari lembaga tersebut. Namun
“bola panas” dunia pendidikan Indonesia masih terus menggelinding, dan
IKIP diganti identitasnya menjadi Universitas Negeri, kecuali IKIP
Bandung, yang masih tetap mempertahankan inisial “pendidikan” menjadi
UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), walau sering diplesetkan menjadi
Universitas Pasti IKIP.
Banyak sudah pendapat yang
dilontarkan, termasuk upaya-upaya yang dilakukan guna pembenahan
pendidikan di negeri ini. Menyoal upaya pembenahan pendidikan, jelas
yang pertama dan utama sebagai pengemban tanggung jawabnya adalah
negara, dalam hal ini tentunya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama
penyelenggara negara. Merekalah yang harus memulai atau mengawali
pembenahan pengelolaan pendidikan.
Belum Proporsional
Berbicara profesionalitas, apresiasi terhadap pendidikan belumlah baik
dan memadai. Salah satu indikatornya setiap seleksi peran ijazah atau
sertifikat masih sangat dominan, akibatnya kinerja orang-orang yang
lolos seleksi pun menjadi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan. Guru
atau dosen memang merupakan salah satu dari sekian banyak tugas
keprofesian. Menjadi guru atau dosen sebagai sebuah kerja profesi
semestinya, dan memang harus, menarik minat serta menggiurkan.
Mengingat beban tugas dan tanggung jawab bagi mereka yang mengemban
tugas keprofesian ini tidak ringan, sudah selayaknya imbalan, dan
fasilitas penunjang yang mereka terima juga harus lebih atau minimal
proporsional, artinya tidak dengan hanya sekedar “rayuan gombal” seperti
sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Jadi, memperhatikan kenyataan akan
rendahnya imbalan atau layanan fasilitas seperti yang diterima guru
atau dosen saat ini, maka kita atau negara juga jangan terlalu banyak
menuntut mereka.
Bila dibandingkan profesi lainnya, seperti
dokter atau tenaga paramedis, kehidupan guru atau dosen bagai “api jauh
dari panggang”. Guru atau dosen tidak mungkin sibuk di tempat prakteknya
di rumah, seperti seorang dokter yang banyak melayani pasien di tempat
prakteknya dibandingkan di rumah sakit, tempatnya bekerja. Intinya,
selama negara masih belum berkeinginan memperlakukan para profesional
secara proporsional, kecil harapan negeri ini memiliki para profesional
di berbagai bidang. Ya, setelah Indonesia merdeka, peristiwa politik
1966, dan reformasi 1998, adakah pemimpin kita yang bertanya seperti
Kaisar Hirohito, setelah Jepang habis dibom Sekutu, berapa jumlah guru
yang tersisa?
Profesionalitas seseorang sangat bergantung pada
kompetensi yang dimilikinya, dan sejauh mana dia mampu mengembangkannya
secara maksimal. Sistem ranking, kelas unggul, dan sekolah unggul yang
ada, mungkin perlu dikaji ulang seberapa besar manfaatnya. Semula
penerapannya bertujuan untuk memotivasi siswa dalam belajar, tapi
kenyataan di lapangan menunjukkan pencapaian tujuan siswa yang memang
termotivasi cenderung kecil. Bahkan, dampak yang mencengangkan; ada
sejumlah guru atau sekolah yang tega membocorkan kunci jawaban ujian
kepada siswanya, demi mencapai apa yang ditargetkan, yakni bisa
dikatakan sebagai sekolah unggul karena nilai angka siswanya memang
besar!
Pengelolaan Pendidikan
Perekrutan dan kesejahteraan
guru atau dosen, pengawas sekolah atau mata pelajaran, serta kurikulum,
gedung sekolah, buku pelajaran, badan akreditasi, peran masyarakat atau
swasta, standar mutu pendidikan, penerapan aturan dengan gaya "kacamata
kuda" dan seabrek persoalan pendidikan lainnya, seolah tak kunjung
menyusut melainkan terus menumpuk, semakin rumit, dan kompleks. Demikian
pula anggaran pendidikan, yang tampaknya sulit bergerak naik, bila
dibandingkan anggaran lainnya, terutama dalam pembangunan pada
pemerintahan pusat pun daerah.
Sebetulnya kunci persoalan di
atas, berada pada bagaimana kita mengelola pendidikan ini. Keberadaan
jumlah sekolah-sekolah negeri, sudah terlalu banyak sehingga cukup
membebani dunia pendidikan kita, dan ini seharusnya tidak perlu terjadi.
Negara pun harus memikul beban biaya pendidikan yang besar. Di samping
itu, disadari atau tidak, sekolah swasta yang memang dibutuhkan peran
sertanya sebagai mitra pemerintah dalam membangun SDM menjadi terjepit,
dan sulit dapat berkiprah lebih jauh, terutama sekolah-sekolah swasta
yang kurang “bonafid”. Ironisnya sekolah-sekolah tersebut hanya menjadi
bahan cemoohan bukan diupayakan untuk dibantu dan didukung agar dapat
mandiri dan berkembang.
Ke depan, sekolah dasar dan menengah
negeri jumlahnya tidak perlu banyak, terutama di kota-kota besar.
Sekolah negeri hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang lemah secara
ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki
bakat atau prestasi luar biasa. Tepatnya, bagi mereka yang memenuhi
persyaratan untuk bersekolah di sekolah negeri, maka negara berkewajiban
membiayai dan memfasilitasi semua kebutuhan pendidikannya.
Untuk masyarakat yang tingkat ekonominya masuk kategori menengah maka
mereka harus memilih sekolah swasta, sedangkan bagi masyarakat yang
tingkat ekonominya di atas kelompok menengah, selain harus memilih
sekolah swasta mereka pun harus ikut memberikan bantuan yang dapat
mendorong sekolah swasta yang bersangkutan menjadi lebih berkemampuan
dan berkualitas. Dengan kondisi pengelolaan pendidikan yang demikian
maka anggaran pendidikan yang jumlahnya berkisar 20% cenderung sudah
bisa mencukupi kewajiban negara membiayai pendidikan, termasuk di
dalamnya dapat dialokasikan dana subsidi bagi pengembangan guru dan
siswa sekolah swasta...dengan catatan bebas dari praktik korupsi di
berbagai lini.
Dengan jumlah sekolah negeri yang sedikit,
tetapi memiliki fasilitas pendidikan yang merata, lengkap, dan canggih,
tentu kebutuhan tenaga guru PNS pun menjadi sedikit. Nah, dengan
kebutuhan tenaga guru PNS yang sedikit ini jelas akan mendorong tingkat
persaingan menjadi tinggi. Bila tingkat persaingan menjadi guru PNS
tinggi, maka sistem perekrutan guru dapat diperketat guna mendapatkan
tenaga pendidik yang benar-benar berkualitas.
Jika jumlah
sekolah dan guru negeri sedikit, maka memungkinkan bagi pemerintah untuk
dapat meningkatkan kesejahteraan guru antara 4 sampai 5 kali lipat dari
penghasilan guru seperti sekarang. Lalu, pemerintah atau penyelenggara
pendidikan memberikan perumahan bagi guru dan tenaga kependidikan
lainnya, yang mana lokasinya tidak boleh jauh dari sekolah tempat mereka
mengajar atau bekerja.
Bekas gedung-gedung sekolah negeri,
yang tidak termasuk dari jumlah kebutuhan sekolah negeri, dapat
diswastanisasikan, sedangkan siswanya diatur sesuai dengan kemampuan
ekonomi orang tuanya, termasuk siswa-siswa di sekolah swasta perlu
didata ulang. Untuk siswa sekolah swasta yang memenuhi syarat masuk ke
sekolah negeri harus ditawarkan, dan diberi kesempatan satu tahun ajaran
untuk mempertimbangkan kepindahannya ke sekolah negeri. Bagi guru PNS
yang tidak lolos dalam seleksi ulang guru sekolah negeri, kepada mereka
negara memberikan pensiun dini, dan diprioritaskan untuk dapat mengikuti
seleksi guru sekolah swasta.
Era otonomi daerah, seperti
sekarang ini adalah saatnya bagi khususnya Pemerintah Daerah untuk
sungguh-sungguh berpihak kepada dunia pendidikan di wilayahnya
masing-masing, karena generasi muda inilah yang nantinya akan memegang
dan menjalankan tongkat estafet dalam menumbuhkembangkan potensi yang
ada di daerahnya masing-masing. Sehingga era otda tidak lagi terkesan
hanya sebagai ajang bagi-bagi “kursi” kekuasaan di daerah.
Negara, dalam hal ini pemerintah, membiayai atau menanggung dana pun
fasilitas pendidikan anak atau siswa dari masyarakat yang lemah secara
ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki
bakat atau prestasi luar biasa, seperti yang disebutkan di atas tidak
dapat disamakan dengan program yang ada (bhineka subsidi) seperti yang
dilakukan selama ini.
Program raskin, alokasi dana dampak
kenaikan BBM, dan lain sebagainya adalah ibarat masyarakat dininabobokan
dengan terus-menerus di beri “ikan” bukan mata “kail”, yang cenderung
bermuatan politis atau merupakan upaya “meredam” kemungkinan adanya
gejolak sosial, ekonomi, dan politik belaka. Jika masyarakat hanya
dibuai-buai atau diberi ikan, tentu tidak akan menyelesaikan masalah.
Ikan iya, tapi hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat sesungguhnya
adalah kailnya, karena dengan bekal mata kail inilah nantinya dapat
menjadi sarana dalam berupaya memberi arti dalam hidup dan kehidupan
mereka masing-masing secara berkesinambungan.
Pendidikan gratis
dan atau sekolah gratis, kini tampak marak menjadi bualan politik calon
legislatif pun calon kepala pemerintahan kepada masyarakatnya. Namanya
bualan tentu ada korbannya, siapa lagi kalau bukan sebagian besar
masyarakat pemilihnya. Logika apa yang dipakai, sehingga berani
mengumbar janji “Pendidikan Gratis Indonesia Cerdas”…misalnya! Isu
pendidikan gratis dipolitisasi, dijadikan jargon, sekedar “kelakar
betok” satu istilah “Palembangan”.
Di wilayah Batanghari
Sembilan, bisa dianalogikan seperti saat datang “musim buah”, segala
sesuatunya menjadi ramai, hangat, aktual, menarik, melibatkan banyak
orang, dapat kesempatan menarik untung baik secara langsung maupun tidak
langsung. Setelah musim kemarau berlalu, musim hujan menjelang, dan
seperti biasanya musim buah pun silih berganti. Kalau, kemarin musim
mangga, duku, kini musim durian datang. Dusun-dusun tadinya sepi,
berubah ramai karena ada transaksi borong-memborong duren, mulai dari
putik bunga hingga gelantungan buah-buah duren yang memang sudah hampir
masak, dan terutama tentunya tumpukan buah duren yang hanya tinggal
diangkut, siap diekspor ke luar dusun.
Di Palembang,
pasar-pasar, kaki-kaki lima, dan beberapa sisi jalan pun menjadi
bernuansa dan beraroma durian. Para penjual durian itu ada yang membikin
pondok-pondokan, tetapi ada pula yang memanfaatkan bak mobil-mobil
pik-upnya. Dalam kondisi demikian, tidak sedikit mereka yang
memanfaatkanya guna menarik utung pribadi, termasuk para penarik
retribusi baik yang resmi maupun yang gelap. Ada yang berencana untuk
biaya sekolah anaknya, mungkin juga untuk beli teve baru, kulkas baru,
motor baru, atau "wong rumah baru." Hanya para pasukan kuning yang
terpaksa mengelus dada, karena musim durian berarti membludaknya
sampah-sampah, adalah konsekuensi tambahan bagi beban tugas mereka.
Demikian pula suasana pemilihan caleg dan kepala daerah, ilustrasi di
atas tidak jauh berbeda dengan kondisi jelang pemilihan di banyak
daerah. Tampak dari masing-masing bakal calon telah mulai meneriakkan
atau mengkampanyekan kesiapannya akan maju mencalonkan diri dalam
kompetisi politis tersebut. Teriakan-teriakan itu ada yang disampaikan
secara langsung dalam kegiatan “klise” (tergantung dari sudut pandang)
seperti jumpa kader atau simpatisan, dan atau banyak pula yang
memanfaatkan media komunikasi visual grafis – elektronik, seperti
baligho, spanduk, poster, kalender, pamlet, leaflet, koran, majalah,
buku, radio, teve, termasuk fasilitas dunia maya bagi kampanyenya.
Bukan hanya umbar janji “Pendidikan Gratis,” “Sekolah Gratis” dijadikan
isu pendidikan yang menjadi laris manis (bukan “seksi”), tema kesehatan
dengan “Berobat Gratis, Masyarakat Sehat” juga dijadikan jejampi
menarik jelang pemilukada pun pemilu caleg. Pertanyaannya, salahkah?
Sesungguhnya patut disyukuri dan semoga memang muncul dari kesadaran
yang hakiki (nawaitu), bila pendidikan dan kesehatan menjadi perhatian
utama dari beberapa kandidat dewan terhormat juga kandidat pemimpin,
iyakah…? Karena, harus dipahami makna pendidikan gratis itu, artinya
menyeluruh untuk jenjang dan ragam jenis pembelajaran, termasuk kursus,
les-privat, kuliah di perguruan tinggi, dan sebagainya, sangupkah mereka
memenuhi sesuai janjinya? Jangan-jangan, setelah terpilih berobah
haluan..hana-hitulah, alasannya…!
Jujur saja, sebetulnya
penerapan istilah “gratis” yang “pasaran” itu, sangat tidak tepat bagi
dunia pendidikan, bahkan cenderung merendahkan hakikat pendidikan yang
memiliki konsep dua arah, hak dan kewajiban. Sementara gratis itu
bersifat satu arah, artinya pihak yang menggratiskan tidak berhak
menuntut, dan pihak yang digratiskan tidak pula memiliki kewajiban.
Misalkan, di suatu mall pada counter yang menjual alat-alat dapur
tertulis: “Membeli satu produk, gratis 1 lusin gelas”. Maka, pihak
pengelola tidak bisa serta merta mengharuskan setiap pengunjung membeli
produk yang mereka jual, demikian pula sebaliknya dengan adanya gratisan
1 lusin gelas itu, bukan berarti setiap pengunjung menjadi berkewajiban
harus membeli produk yang ditawarkan oleh pengelola mall.
Sehingga, penggunaan atau penerapan sekolah atau pendidikan gratis itu
tidak benar, sebab sudah jelas dan sesuai dengan semangat pasal 31 ayat 2
UUD 1945 sebagai rambu-rambunya, “Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib pula membiayainya.” Pada kalimat
tadi tidak sedikit pun mengisyaratkan adanya makna “gratis”, karena di
situ jelas ada hak dan sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak,
baik sebagai warga negara maupun pemerintah.
Pendidikan ke Depan
Mengapa pendidikan bermasalah? Berbagai teori dikemukakan untuk
menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Namun, banyak orang sering lupa
bahwa masalah pendidikan yang sebenarnya mendasar adalah bagaimana
memanusiakan anak sebagai manusia melalui pendidikan, sehingga mereka
benar-benar siap hidup dan berkemapuan menumbuhkembangkan potensi
kehidupannya. Permasalahan pendidikan di negeri ini lebih banyak
disebabkan masalah anak sebagai anak manusia selalu diselesaikan menurut
beragam kepentingan orang tua/orang dewasa. Harus disadari dan dipahami
bahwa masalah pendidikan sesungguhnya bukan hanya sekedar memberdayakan
pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan tentu dan harus
berkait erat dengan nurani dan moral spiritual serta pembentukan
karakter.
Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang
hilang dari proses pembelajaran di sekolah, karena perhatian
sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang
berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman
kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang
bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini telah
berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang
cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak
kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara
individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba,
seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman
moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya,
dan lain sebagainya.
Sampai saat ini pendidikan di sekolah
masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan
dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas
sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya
(siswa menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan
dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek
dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar
hanya untuk sekolah, ditambah lagi di setiap sekolah jumlah siswa per
kelasnya rata-rata diatas 20 orang.
Sudah saatnya kita
tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus
berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu
mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa
siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar. Pihak sekolah,
guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa belahan
otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang
dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses
pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berjalan cepat,
efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan, mengasyikkan, dan tentu
akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan
negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.
Pemerintah menetapkan
standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai 4,01.
Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun
internasional/global itu tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya
masih terlalu rendah, dan mengapa tidak ditetapkan saja dengan nilai
7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan standar
mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan
produk teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …,
2003, 2004, 2005, 2007 dan seterusnya. Pemerintah dalam hal ini
Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul,
menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang
diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).
Standar mutu
pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena
fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian
ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar
atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana hasil dari kinerja
Depdiknas, Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu
pendidikan yang ada, dan ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata
tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan, maka itulah hasil
evaluasi kinerja dari jajaran pendidikan kita.
Artinya untuk
langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah strategis,
tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap jajaran
pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya,
karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak
lulusnya peserta didik. Lagi pula, keberadaan istilah NEM yang jelas
"mengkastakan" antar mata pelajaran, sesungguhnya tidak selaras dengan
konsep ideal pendidikan.
Sekali lagi inilah masalahnya, kita
cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain,
termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam
pengelolaan pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya
untuk tidak terlihat salah dengan jalan mengorbankan anak didik.
Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering dan selalu
kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang! *)
*) Erwan Suryanegara
Tut Wuri Handayani