Senin, 19 November 2012




BENARKAH wartawan saat menulis berita kurang mengolah rasa dan menempatkan rasionalitas di atas segalanya?
Rupanya hal itu menginspirasi sembilan wartawan yang bekerja di beberapa media massa untuk menulis cerpen. Sekaligus mereka ingin meluruskan pandangan bahwa wartawan hanya menulis berita.
Maka, lahirlah sekitar 37 cerpen yang dikompilasi di sebuah buku berjudul Kumpulan Cerpen Sembilan Wartawan. Para penulisnya ialah Aba Marjani, AR Loebis, Djahar Muzakir, Djunaedi Tjunti Agus, Hendry CH Bangun, Iman Handiman, Mahfudin Nigara, Maria Andriana, dan Wito Karyono.
Masing-masing berkisah tentang apa yang mereka rasakan. Tentu saja tema cerpen dalam buku tersebut berbeda-beda, tetapi dengan kualitas yang terjaga dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kisah-kisah cerpen dalam buku tersebut beragam. Misalnya, seputar drama hidup, tentang ibu yang tidak menginginkan anak lelakinya menikahi seorang wanita hanya karena kesamaan nada suara dengan wanita yang menjadi selingkuhan suaminya.
Sang anak pun menipu sang ibu yang matanya sudah buta dengan membiarkan selama enam tahun kekasihnya tersebut mendampingi ibunya dengan menyamar sebagai pembantu. Kisah itu tertuang dalam cerpen berjudul Dusta yang Suci karangan Djahar Muzakir.
Ada lagi cerpen berjudul Stasiun (Sebuah Sketsa) yang dikarang Hendry CH Bangun. Ceritanya datar, tapi tetap menarik. Berkisah rutinitas warga Jakarta yang setiap harinya menggunakan kereta api saat pergi dan pulang kantor. Anehnya, yang terjadi, berdesakan menambah sikap individualistis. Hampir tidak ada dialog di antara pengguna kereta.
Cerita lain juga tentang keberanian. Misalnya saja seseorang yang bersedia menjadi saksi di tengah banyaknya orang yang mencari aman atas berbagai peristiwa sadis yang menimpa orang lain seperti dalam kisah Bunuh Diri, hingga tentang susahnya rakyat Indonesia mencari kerja di Jakarta dalam kisah Perjuangan Seorang Pencari Kerja.
Penyusun buku Hendry CH Bangun menjelaskan kisah dalam buku tersebut tidak di bawah satu tema. Sebab, para wartawan menghendaki ide itu bergerak liar bebas dan jauh dari sekat tematis.
Kisah dalam cerpen-cerpen tersebut mengalir dan mudah dicerna. Karena itu, kumpulan cerpen tersebut bukan sekadar oase tempat menyejukkan hati dan pikiran para wartawan senior dari kesibukan yang berat. Bukan juga sekadar penyalur kegelisahan jiwa dan pikiran atau gagasan subjektif yang tidak mungkin dituangkan dalam bentuk berita di media massa.
Akan tetapi, kisah dalam cerpen-cerpen itu secara sastrawi mentransformasi peristiwa, gagasan, protes, kemuakan, atau bahkan kemarahan ke dalam bentuk cerita. Bahkan, cerpen-cerpen tersebut lahir dari spontanitas di tengah rutinitas yang padat.
Bagi Maria Andriana, misalnya, menulis cerpen merupakan pelampiasan akan kecintaannya akan berbahasa karena dalam pekerjaannya sehari-hari, ia menulis berita secara singkat. Yang jelas, bagi sembilan wartawan tersebut, menulis cerpen merupakan penyeimbang antara karya jurnalistik dan karya sastra.

Tidak ada komentar: