Minggu, 18 November 2012

 

Atraksi Wisata Malam di Yogyakarta Perlu Ditambah

Atraksi wisata pada malam hari di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta masih kurang sehingga perlu ditambah agar wisatawan memiliki pilihan tontonan hiburan. "Selain itu, dengan makin banyaknya atraksi wisata pada malam hari di Provinsi DIY diharapkan lama tinggal wisatawan juga bertambah," kata praktisi pariwisata, Widi Utaminingsih, yang juga Ketua Yayasan Widya Budaya Yogyakarta, Jumat (16/11/2012)
Menurut Widi, rata-rata lama tinggal wisatawan di daerah ini  masih di bawah tiga hari sehingga uang yang mereka belanjakan saat menginap relatif sedikit. "Untuk menggenjot lama tinggal wisatawan, perlu ada  atraksi wisata pada malam hari agar geliat pariwisata DIY makin  meningkat," kata Widi.

Ia mengatakan atraksi wisata pada malam hari itu memang sudah menjadi wacana lama, tetapi implementasi di lapangan termasuk koordinasi antarlembaga dan pemangku kepentingan pariwisata di daerah ini masih kurang. "Pememerintah setempat harus secepatnya mengantisipasi atraksi wisata malam hari sehingga bisa berdampak positif bagi pariwisata DIY," katanya.

Widi memaparkan, selama ini untuk menonton atraksi pada malam hari di DIY masih terbatas hanya Ramayana Balet di panggung terbuka Purawisata di Kota Yogyakarta ataupun panggung terbuka di Taman Wisata Candi Prambanan di Kabupaten Sleman.

"Pentas kesenian tradisional hendaknya perlu diperbanyak dan perlu menghidupkan kembali pentas seni pada malam hari yang dulu sudah ada, tetapi karena sesuatu hal, tidak lagi bisa terselenggara," katanya.

Widi melanjutkan, masih banyak lokasi di Yogyakarta yang bisa  dimanfaatkan untuk panggung pertunjukan kesenian, di antaranya Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Titik Nol Kilometer di simpang empat depan Kantor Pos Besar, dan pergelaran di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta beberapa tempat lainnya.

"Jika pertunjukan wisata malam hari semakin banyak, diyakini lama tinggal wisatawan di Yogyakarta akan bertambah," kata Widi.
 
Sumber : Antara


Keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan menyimpan ribuan mahakarya seni yang diciptakan oleh para raja dan pujangganya. Sebagian mahakarya itu jarang ditampilkan untuk khalayak.
Alasan tidak dipertontonkannya milik keraton tersebut karena dianggap sakral. Dengan alasan kesakralan itu, di masa lalu seni yang diciptakan para raja dan pujangga menjadi bersifat eksklusif dan hanya bisa ditonton oleh kalangan di dalam istana dan tamu-tamu istimewanya.
Seiring perkembangan zaman, keraton semakin membuka diri. Kini mahakarya para sultan tersebut mulai dipertontonkan untuk publik.
Bekerja sama dengan Gelar Budaya World Performance, Keraton Yogyakarta menggelar pentas tari dan wayang orang selama dua hari, 15-16 November. Pentas bertajuk Menjelajah Mahakarya Sri Sultan Hamengku Buwono ini menampilkan tari Srimpi Pandhelori karya Sri Sultan HB VIII, Beksan Lawung Ageng, dan wayang orang Harjunawiwaha karya Sri Sultan HB I serta konser gendhing Westminster karya Sri Sultan HB VII. Sebanyak 116 penari, pemain gamelan, sinden, penata busana, dan penata ritual didatangkan langsung dari Yogyakarta.
Anto Sukardjo, pemrakarsa dan penganggung jawab kegiatan, mengatakan, Keraton Yogyakarta masih menyimpan dan memelihara karya seni mereka dan mempertahankan keasliannya. Hal ini sengaja dilakukan agar bangsa Indonesia masih memiliki sumber kesenian tradisi yang asli. "Tidak semua seni tradisi harus dikomodifikasi menjadi modern," kata Anto, Jumat (16/11/2012) di Jakarta.
Tujuan pagelaran tersebut, kata Anto, agar masyarakat bisa melihat langsung keaslian seni tradisi yang dipelihara Keraton Yogyakarta. Sepuluh tahun lalu, Keraton Yogyakarta juga pernah mementaskan mahakarya seninya.
Anto menyatakan, tidak mudah mendapatkan izin untuk menampilkan karya-karya Sri Sultan ke pentas publik. Ia mengajukan izin sejak Mei dan baru disetujui oleh Sri Sultan HB X pada Oktober.
Untuk pentas itu, seluruh perangkat didatangkan dari keraton, seperti gamelan Kanjeng Kyai Madu Murti dan Kanjeng Kyai Madukusumo, pusaka keris, kostum asli penari keraton, dan lain-lain.
Selama dua hari pertunjukan, rata-rata pengunjung yang datang hampir memenuhi ruang penonton bagian bawah di gedung Teater Jakarta, yang berkapasitas 1.500 penonton.
Kepala Kesenian dan Kerajinan Keraton Yogyakarta, Yudhadiningrat mengatakan, gelar budaya keraton tersebut bertujuan agar masyarakat tahu bagaimana seni tradisi yang benar-benar asli. "Sekarang ini banyak sekali seni tradisi dikembangkan sedemikian rupa sehingga tidak tampak lagi keasliannya," kata Yudhadiningrat.
 
Editor :
Nasru Alam Aziz
Ngayogjazz 2012 Paduan Jazz dan Budaya Lokal


Pergelaran musik tahunan Ngayojazz yang digelar di Desa Wisata Brayut, Pandowoharjo, Sleman, Yogyakarta pada 18 November 2012 akan memadukan musik jazz dengan budaya lokal yang tumbuh di masyarakat setempat.
"Pada Ngayogjazz ini kami akan memadukan potensi dan budaya lokal yang sudah tumbuh dan berkembang di Desa Wisata Brayut, mulai dari kearifan lokal masyarakat setempat sampai seni budaya yang ada di Sleman pada umumnya," kata Ketua Pelaksana Ngayogjazz Djaduk Ferianto.
"Ngayogjazz" merupakan sebuah gerakan budaya yang menggunakan jazz sebagai medianya. Kegiatan tersebut sarat dengan interaksi dengan masyarakat yang menjadi lokus penyelenggaraan.
"Ini dilakukan untuk memaksimalkan potensi masyarakat setempat yang mampu menggerakkan perekonomiam masyarakat Brayut. Kegiatan ini tidak bersifat profit oriented tapi lebih kepada gerakan kea arah proses pembudayaan dan proses regenerasi pemusik jazz," katanya.
Ia mengatakan dalam pegelaran ini akan ada enam panggung yang didirikan di area Desa Wisata Brayut dan setiap pergantian panggung akan dimeriahkan dengan pentas seni tradisional mulai dari kirab "bregodo" (prajurit tradisional), jathilan, badui dan seni lainnya.
Ngayogjazz 2012 yang mengusung tema "Dengan Ngejazz Kita Tingkatkan Swasembada Jazz" akan melibatkan 30 group, dua diantaranya dari luar negeri.
Musisi dari luar negeri yang dijadwalkan akan hadir yakni Jen Shyu dari Amerika, Toninho Horta dari Brasil. Musisi nasional antara lain Syaharani dan ESQI:EF, Benny dan Barry Likumahua, Idang Rasjidi, Irianti Erning Praja, dan Eramono Sukaryo.
Pengelola Desa Wisata Brayut Budi Utomo mengatakan warga desa sangat antusias menyambut kegiatan ini. Warga berharap semakin banyak orang yang datang ke Desa Wisata Brayut akan meningkatkan perekonomian setempat.  

Sumber :ANT