Minggu, 18 November 2012


Keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan menyimpan ribuan mahakarya seni yang diciptakan oleh para raja dan pujangganya. Sebagian mahakarya itu jarang ditampilkan untuk khalayak.
Alasan tidak dipertontonkannya milik keraton tersebut karena dianggap sakral. Dengan alasan kesakralan itu, di masa lalu seni yang diciptakan para raja dan pujangga menjadi bersifat eksklusif dan hanya bisa ditonton oleh kalangan di dalam istana dan tamu-tamu istimewanya.
Seiring perkembangan zaman, keraton semakin membuka diri. Kini mahakarya para sultan tersebut mulai dipertontonkan untuk publik.
Bekerja sama dengan Gelar Budaya World Performance, Keraton Yogyakarta menggelar pentas tari dan wayang orang selama dua hari, 15-16 November. Pentas bertajuk Menjelajah Mahakarya Sri Sultan Hamengku Buwono ini menampilkan tari Srimpi Pandhelori karya Sri Sultan HB VIII, Beksan Lawung Ageng, dan wayang orang Harjunawiwaha karya Sri Sultan HB I serta konser gendhing Westminster karya Sri Sultan HB VII. Sebanyak 116 penari, pemain gamelan, sinden, penata busana, dan penata ritual didatangkan langsung dari Yogyakarta.
Anto Sukardjo, pemrakarsa dan penganggung jawab kegiatan, mengatakan, Keraton Yogyakarta masih menyimpan dan memelihara karya seni mereka dan mempertahankan keasliannya. Hal ini sengaja dilakukan agar bangsa Indonesia masih memiliki sumber kesenian tradisi yang asli. "Tidak semua seni tradisi harus dikomodifikasi menjadi modern," kata Anto, Jumat (16/11/2012) di Jakarta.
Tujuan pagelaran tersebut, kata Anto, agar masyarakat bisa melihat langsung keaslian seni tradisi yang dipelihara Keraton Yogyakarta. Sepuluh tahun lalu, Keraton Yogyakarta juga pernah mementaskan mahakarya seninya.
Anto menyatakan, tidak mudah mendapatkan izin untuk menampilkan karya-karya Sri Sultan ke pentas publik. Ia mengajukan izin sejak Mei dan baru disetujui oleh Sri Sultan HB X pada Oktober.
Untuk pentas itu, seluruh perangkat didatangkan dari keraton, seperti gamelan Kanjeng Kyai Madu Murti dan Kanjeng Kyai Madukusumo, pusaka keris, kostum asli penari keraton, dan lain-lain.
Selama dua hari pertunjukan, rata-rata pengunjung yang datang hampir memenuhi ruang penonton bagian bawah di gedung Teater Jakarta, yang berkapasitas 1.500 penonton.
Kepala Kesenian dan Kerajinan Keraton Yogyakarta, Yudhadiningrat mengatakan, gelar budaya keraton tersebut bertujuan agar masyarakat tahu bagaimana seni tradisi yang benar-benar asli. "Sekarang ini banyak sekali seni tradisi dikembangkan sedemikian rupa sehingga tidak tampak lagi keasliannya," kata Yudhadiningrat.
 
Editor :
Nasru Alam Aziz

Tidak ada komentar: